Target
pemerintah dalam mempercepat penetrasi internet melalui pembangunan
infrastruktur ICT diseluruh Indonesia patut diapresiasi sebagai solusi atas
persoalan digital
divide namun langkah tersebut juga harus mempertimbangkan aspek social
dalam mengatasinya. Langkah ini tak jauh dari pengertian awal digital divide
yang lebih menekankan pada aspek ekonomi-teknologi bukan pada bagaimana cara
memberikan solusi terpadu. Sebagaimana Rob Kling (2003) menyatakan bahwa
persoalam utama dalam
mengatasi digital divide cenderung pada pengertian “digital solution” tanpa melibatkan unsur penting lainya yakni inklusi social. Artinya penetrasi internet di Indonesia masih mengandalkan aspek fisikal semata yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
mengatasi digital divide cenderung pada pengertian “digital solution” tanpa melibatkan unsur penting lainya yakni inklusi social. Artinya penetrasi internet di Indonesia masih mengandalkan aspek fisikal semata yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Pada kasus ini, internet ditempatkan sebagai entitas bisnis per se. ini dapat
terlihat dai digital
policy pemerintah yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah
melalui kebijakan digitalnya telah mencanangkan program Indonesia Digital
Network (IDN), program tersebut dihadirkan sebagai solusi konektivitas nasional
yang bertujuan tidak hanya mendukung digitalisasi masyarakat Indonesia tetapi
meningkatkan daya saing masyarakat Indonesia dalam menjawab tantangan global
yang suda di depan mata, semisal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Alih-alih
mengatasi ketimpangan akses internet, solusi konektifitas nasional melalui
penanaman investasi teknologi informasi malah berpotensi memperlebar
kesenjangan teknologi dan menciptakan eksklusi social. Dikhawatirkan,
kesenjangan tersebut menghasilkan ketidakmerataan informasi (information
inequality), permasalahan akses (problem of access)
dan menghambat terbentuknya masyarakat informasi (knowledge society)-dalam
kajian sosiologi ICT kesenjangan (gap) ini dikenal
dengan sebutan digital divide.
Konsep digital divide pertama kali diperkenalkan melalui laporan The National
Telecommunication and Information Administration (NTIA)-sebuah badan
pemerintahan federal AS yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi.
Pada laporan tersebut memuat konsep “the haves” dan “the have-nots”
yang mengklasifikasikan warga negara kedalam dua kelompok baik yang memperoleh
dan tak memperoleh akses ICT. Dalam perkembanganya sebagaimana Steyn &
Johnson (2011) tulis bahwa pengkajian digital divide seringkali terhubung
dengan persoalan akses dan ketidakmerataan dalam penggunaan ICT yang meliputi
aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, etnisitas, geografis dan
demografis sebagai sebagai satu kesatuan pokok persoalan untuk memahami atau
menjelaskan persoalan digital divide.
Jadi, cara mengatasi digital divide
tak cukup dengan pengontrolan investasi infrastruktur ICT secara besar-besaran
yang terkesan membereskan seluruh persoalan padahal aspek-aspek yang lain turut
serta mempengaruhi satu sama lainnya dan saling terhubung antara ketersediaan
perangkat ICT, kemampuan dan pengetahuan dalam menggunakan perangkat ICT (IT Skills &
Literacy), dan kemampuan menciptakan bobot konten (Servon, 2002). Ketiga
aspek inilah yang tak dapat dipisahkan dan menjadi inti dalam mengatasi
persoalan digital divide secara integratif dan berkelanjutan. PBB dalam
pertemuan World Summit on the Information Society telah merumuskan di mana
solusi integratif dan berkelanjutan dalam mengatasi digital divide adalah
membangun infrastruktur ICT, membentuk mesyarakat informasi dan mengedukasi
ICT.
Bersamaan dengan itu, formula untuk mengatasi ketimpangan akses ICT adalah
dengan mengeluarkan kebijakan going online,
salah satunya ialah kebijakan inklusi digital (digital inclusion
policies). Kebijakan ini menciptakan banyak kesempatan bagi warga negara
untuk terlibat dalam arena politik dengan mengoptimalkan peran kewarga negaraan
(citizenship)
masyarakat untuk memperoleh pelayanan dan informasi dari pemerintah (Servon,
2002). Diasamping itu, kebijakan inklusi digital menyediakan platform Community Technology
Centers (CTCs) dan pelayanan Telecenter yang merupakan lesson learn bagi
masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ICT sehingga dapat
meminimalisir ekses digital
divide. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan “Knowledge Society”
dimana antara literasi dan tersedianya akses ICT dapat meningkatkan komunikasi
insani dan terciptanya produksi pengetahuan yang dalam proses selanjutnya
mendukung terbentuknya institusi sosial baru. Sebagaimana Lisa J. Servon (2002)
katakan “It people
often go to CTCs initially in order to obtain access. CTCs are a new form of
community institutions.” Kita dapat saksikan secara seksama, selama ini
sudah tumbuh beragam inisiatif masyarakat berupa Community Technology
Centers (CTCs) seperti Desa Melek Teknologi Informasi (Demit). Inisiatif
masyarakat tersebut adalah bukti bagaimana cara mengatasi persoalan digital
divide terutama menyangkut aspek literasi dan penciptaan konten. Namun cara
mengatasi persoalan digital
divide tak cukup dengan rumusan kebijakan dan program yang hanya menyasar
pada kelompok masyarakat belum melek ICT karena dalam beberapa kasus dapat kita
temukan fakta bahwa dalam persoalan digital divide bisa terjadi dikalangan
masyarakat yang sudah melek sekalipun-anggaplah kelompok masyarakat kelas
menengah perkotaan yang sering terjebak dalam situasi collective behavior
ketika mereka involve
dengan internet, terutama dalam penggunaan sosial media.
Kondisi internet di Indonesia adalah soal kebingungan tentang apa yang harus
dilakukan atau tidak dan dimana harus dilakukan? Fenomena-fenomena seperti
pertarungan konten yang tidak produktif, penyebaran berita-berita hoax
berantai, maraknya kriminalisasi waraga negara yang terjerat pasal 27 Ayat 3 UU
ITE dan rendahnya literasi adalah fakta yang tak dapat dihindari dari persoalan
digital divide
di Indonesia. Konsekuensinya, pada kasus-kasus yang terjadi banyak orang yang
kurang mengerti atau tidak mengetahui soal literasi informasi dan mengiring
terjadinya kekacauan karena larut dalam perilaku kolektif massa (trap from collective
behavior). Oleh karena itu, perlu pemahaman terhadap aspek literasi dan
penciptaan konten.
Disamping itu, internet di Indonesia masih bersifat elitis dan tentu saja
bertolak belakang dengan filosofi dasar internet yang mengandaikan kesetaraan,
ini artinya masih terjadi gap terutama
dalam memperoleh akses pengetahuan dan keterampilan ICT serta kemampuan dalam
mengelola informasi. Maka dari itu, kita ditantang untuk memiliki kecerdasan
baru dalam mengelolanya, misalnya dengan menaati asas-asas verifikasi karena
bagaimanapun, pada saat ini setiap orang berpotensi untuk tahu semua melalui
internet. Dan akhirnya, kita masih terus belajar tentang bagaimana cara
menginstalasi ICT kedalam kedalam kehidupan sosial politik kita. Dengan
demikian, persoalan digital
divide di Indonesia adalah proyek yang belum rampung!
Oleh
: Renal Rinoza
No comments:
Post a Comment