Wednesday, November 30, 2016

Persoalan Digital Divide di Indonesia



Target pemerintah dalam mempercepat penetrasi internet melalui pembangunan infrastruktur ICT diseluruh Indonesia patut diapresiasi sebagai solusi atas persoalan digital divide namun langkah tersebut juga harus mempertimbangkan aspek social dalam mengatasinya. Langkah ini tak jauh dari pengertian awal digital divide yang lebih menekankan pada aspek ekonomi-teknologi bukan pada bagaimana cara memberikan solusi terpadu. Sebagaimana Rob Kling (2003) menyatakan bahwa persoalam utama dalam
mengatasi digital divide cenderung pada pengertian “digital solution” tanpa melibatkan unsur penting lainya yakni inklusi social. Artinya penetrasi internet di Indonesia masih mengandalkan aspek fisikal semata yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
            Pada kasus ini, internet ditempatkan sebagai entitas bisnis per se. ini dapat terlihat dai digital policy pemerintah yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melalui kebijakan digitalnya telah mencanangkan program Indonesia Digital Network (IDN), program tersebut dihadirkan sebagai solusi konektivitas nasional yang bertujuan tidak hanya mendukung digitalisasi masyarakat Indonesia tetapi meningkatkan daya saing masyarakat Indonesia dalam menjawab tantangan global yang suda di depan mata, semisal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Alih-alih mengatasi ketimpangan akses internet, solusi konektifitas nasional melalui penanaman investasi teknologi informasi malah berpotensi memperlebar kesenjangan teknologi dan menciptakan eksklusi social. Dikhawatirkan, kesenjangan tersebut menghasilkan ketidakmerataan informasi (information inequality), permasalahan akses (problem of access) dan menghambat terbentuknya masyarakat informasi (knowledge society)-dalam kajian sosiologi ICT kesenjangan (gap) ini dikenal dengan sebutan digital divide.
            Konsep digital divide pertama kali diperkenalkan melalui laporan The National Telecommunication and Information Administration (NTIA)-sebuah badan pemerintahan federal AS yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi. Pada laporan tersebut memuat konsep “the haves” dan “the have-nots” yang mengklasifikasikan warga negara kedalam dua kelompok baik yang memperoleh dan tak memperoleh akses ICT. Dalam perkembanganya sebagaimana Steyn & Johnson (2011) tulis bahwa pengkajian digital divide seringkali terhubung dengan persoalan akses dan ketidakmerataan dalam penggunaan ICT yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, etnisitas, geografis dan demografis sebagai sebagai satu kesatuan pokok persoalan untuk memahami atau menjelaskan persoalan digital divide. Jadi, cara mengatasi digital divide tak cukup dengan pengontrolan investasi infrastruktur ICT secara besar-besaran yang terkesan membereskan seluruh persoalan padahal aspek-aspek yang lain turut serta mempengaruhi satu sama lainnya dan saling terhubung antara ketersediaan perangkat ICT, kemampuan dan pengetahuan dalam menggunakan perangkat ICT (IT Skills & Literacy), dan kemampuan menciptakan bobot konten (Servon, 2002). Ketiga aspek inilah yang tak dapat dipisahkan dan menjadi inti dalam mengatasi persoalan digital divide secara integratif dan berkelanjutan. PBB dalam pertemuan World Summit on the Information Society telah merumuskan di mana solusi integratif dan berkelanjutan dalam mengatasi digital divide adalah membangun infrastruktur ICT, membentuk mesyarakat informasi dan mengedukasi ICT.
            Bersamaan dengan itu, formula untuk mengatasi ketimpangan akses ICT adalah dengan mengeluarkan kebijakan going online, salah satunya ialah kebijakan inklusi digital (digital inclusion policies). Kebijakan ini menciptakan banyak kesempatan bagi warga negara untuk terlibat dalam arena politik dengan mengoptimalkan peran kewarga negaraan (citizenship) masyarakat untuk memperoleh pelayanan dan informasi dari pemerintah (Servon, 2002). Diasamping itu, kebijakan inklusi digital menyediakan platform Community Technology Centers (CTCs) dan pelayanan Telecenter yang merupakan lesson learn bagi masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ICT sehingga dapat meminimalisir ekses digital divide. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan “Knowledge Society” dimana antara literasi dan tersedianya akses ICT dapat meningkatkan komunikasi insani dan terciptanya produksi pengetahuan yang dalam proses selanjutnya mendukung terbentuknya institusi sosial baru. Sebagaimana Lisa J. Servon (2002) katakan “It people often go to CTCs initially in order to obtain access. CTCs are a new form of community institutions.” Kita dapat saksikan secara seksama, selama ini sudah tumbuh beragam inisiatif masyarakat berupa Community Technology Centers (CTCs) seperti Desa Melek Teknologi Informasi (Demit). Inisiatif masyarakat tersebut adalah bukti bagaimana cara mengatasi persoalan digital divide terutama menyangkut aspek literasi dan penciptaan konten. Namun cara mengatasi persoalan digital divide tak cukup dengan rumusan kebijakan dan program yang hanya menyasar pada kelompok masyarakat belum melek ICT karena dalam beberapa kasus dapat kita temukan fakta bahwa dalam persoalan digital divide bisa terjadi dikalangan masyarakat yang sudah melek sekalipun-anggaplah kelompok masyarakat kelas menengah perkotaan yang sering terjebak dalam situasi collective behavior ketika mereka involve dengan internet, terutama dalam penggunaan sosial media.
            Kondisi internet di Indonesia adalah soal kebingungan tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dan dimana harus dilakukan? Fenomena-fenomena seperti pertarungan konten yang tidak produktif, penyebaran berita-berita hoax berantai, maraknya kriminalisasi waraga negara yang terjerat pasal 27 Ayat 3 UU ITE dan rendahnya literasi adalah fakta yang tak dapat dihindari dari persoalan digital divide di Indonesia. Konsekuensinya, pada kasus-kasus yang terjadi banyak orang yang kurang mengerti atau tidak mengetahui soal literasi informasi dan mengiring terjadinya kekacauan karena larut dalam perilaku kolektif massa (trap from collective behavior). Oleh karena itu, perlu pemahaman terhadap aspek literasi dan penciptaan konten.
            Disamping itu, internet di Indonesia masih bersifat elitis dan tentu saja bertolak belakang dengan filosofi dasar internet yang mengandaikan kesetaraan, ini artinya masih terjadi gap terutama dalam memperoleh akses pengetahuan dan keterampilan ICT serta kemampuan dalam mengelola informasi. Maka dari itu, kita ditantang untuk memiliki kecerdasan baru dalam mengelolanya, misalnya dengan menaati asas-asas verifikasi karena bagaimanapun, pada saat ini setiap orang berpotensi untuk tahu semua melalui internet. Dan akhirnya, kita masih terus belajar tentang bagaimana cara menginstalasi ICT kedalam kedalam kehidupan sosial politik kita. Dengan demikian, persoalan digital divide di Indonesia adalah proyek yang belum rampung!


Oleh : Renal Rinoza

No comments:

Post a Comment